11.05 | Posted in


Kebatinan
Kebatinan ; KEBATOSAN, adalah diambil dari bahasa Jawa; BATIN (innermost-self), adalah laku yang secara metafisika mencari kedamaian dan keharmonisan didalam hatinya yang paling dalam, hubungannya dengan alam semesta dan hubungannya dengan Tuhannya. Pandangan kepercayaan orang Jawa tentang kombinasi okultisme, metafisika, mistik, dan doktrin luar lainnya cenderung memberikan contoh perpaduan pada orang diri Jawa.
Idealisme orang Jawa mengkobinasikan kebijaksanaan seseorang dengan waskita dan sempurna.  WISDOM (WICAKSANA), PSYCHE (WASKITA) dan PERFECTION (SEMPURNA). Pengikutnya haruslah bisa mengontrol dirinya atau hawa nafsunya, menjauhkan diri dari hingar bingar dan kesenagan duniawi, sehingga dia bisa mendapatkan keharmonisan hidup berupa pepadhang/pencerahan dan keterpaduan jiwanya dengan alam semesta. Bisa dikatakan secara umum, bahwa pengikut Kebatinan mempercayai keberadaan kesadaran yang sangat luar biasa didalam dunia kosmos yang berupa perhatian umat manusia dimasa yang akan datang, yang berupa kontrol diri dan petunjuk jalan hubungan dan tujuan kehidupan manusia. Untuk mengetahui keadaan hanya bisa dilakukan dengan cara meditasi.
Terdapat beberapa teknik meditasi atau dikenal dengan TAPA: TAPA KALONG melakukan laku tapa seperti Kalong  Kalong dalam bahasa Jawa adalah nama hewan pengerat pemakan buah-buahan di malam hari, pada siang hari dia tidur dengan kepalanya dibawah dan kakinya menggantung didahan pohon, TAPA GENI atau laku tapa dengan cara tidak terkena sinar apapun. TAPA SENEN KEMIS, TAPA MUTIH adalah laku tapa hanya makan nasi putih atau tidak memakai gula dan garam, dan TAPA NGEBLENG atau tapa didalam ruangan gelap selama beberapa hari, TAPA NGULER atau sering disebut dengan vegetarian karena hanya makan buah-buahan dan sayuran.
Pada saat mereka puasa, dilakukan beberapa hari lamanya atau sampai tujuannya tercapai, ada juga yang melakukan selama 40 hari penuh. Puasa bagi orang Jawa merupakan latihan umum untuk melatih kedisiplinan diri; atau melatih jasmani dan rokhaninya dari keinginan secara emosianal. Mereka melakukannya menurut keyakinan mereka sendiri untuk mencari pemenuhan kebutuhan spiritual dan emosional. Pelaksanaan puasa ini terlepas dari ritual puasa agama masing-masing individu dan biasanya dilakukan dengan sangat rahasia atau atas perintah sang guru.
Kejawen 3
Memperkenalkan moral tingkah laku, etika dan tridisi orang
Jawa.
a. BUDI PEKERTI; Good Conduct of Life / Good Morality/Virtue
Hal ini adalah sangat penting sebagai tuntunan moral orang Jawa tradisional. Seseorang yang mengenal dan mempunyai Budi Pekerti, dalam hidupnya pastilah selalu selamat; Slamet; seperti yang diharapkan dalam hidupnya jauh dari banyak perkara.
Ucapan berkah dari orang tua dan berkah dari orang yang lebih tua pasti dan selalu terdapat kata “Slamet”, Selamat atau “safe life”. Budi pekerti adalah induk dari dari segala jenis etika, etiket, tingkah laku yang baik, serta tuntunan hidup baik dan benar, dll.. Pada awalnya dilakukan atau diajarkan dari orang tua mereka dan keleuarga mereka di rumah kemudian oleh masyarakat secara langsung dan tidak langsung.
Cerita dalam WAYANG (shadow puppet performance) adalah salah satu sumber ilmu Budi Pekerti untuk kalangan muda. Akan tetapi banyak juga cerita wayang yang menceritakan tentang hidup sejati atau uripsejati (true life) yang sering dikenal dengan MANUNGGALING KAWULA lan GUSTI: manunggal = unity) The Unity of Servant & Lord. Dengan cerita wayang itulah orang Jawa seringkali bisa melihat dirinya sendiri, sehingga itu wayang masih populer sampai pada saat ini.
Cerita wayang itu diantaranya adalah:
1. Cerita tentang kebaikan dan keburukan, yang pada akhirnya diakhiri dengan kebaikan, akan tetapi setiap waktu keburukan itu selalu mengikuti.
Ikutilah seperti apa yang dilakukan oleh keluarga Satriya; Pandawa, yang dinobatkan mempunyai karakter selalu menghormati dan kesopanan. Berperang untuk kebenaran, untuk kesejahteraan umat manusia dan bangsa. Mereka belajar serius tentang spiritual, dan mereka menggunakan kekuatan supernatural mereka untuk mencapai cita-cita itu.
Janganlah meniru kelakuan Kurawa dan kroninya. Mereka tidak pernah menghormati, rakus akan kekuasaan dan materi dunia, kasar, dan tidak sopan. Mereka tampaknya dipenuhi oleh hawa nafsu keserakahan dan angkara murka. Mereka itu raksasa hutan. Dalam bahasa Jawa disebut Butho; yang berarti orang yang buta matanya tidak bisa melihat mana yang baik dan mana yang tidak benar, baik atau jahat, benar dan salah, rakus, haus darah, egois, dll. Atau melambangkan semua karakter jelek.
2. Penghuni di alam jagat raya ini tidak hanya manusia dan binatang. Didalamnya juga ada makhluk lain seperti roh (jahat dan baik) atau istilah populernya dikenal dengan “MAHLUK ALUS” (The unseen spirits)  (mahluk = creatures, alus = unseen). Para dewa dewi sebagai penghuni Kahyangan (The abode of Gods), serta kekuatan yang mengatur semua alam jagat raya ini merupakan kekuatan Tuhan (Supreme God).
3. Kehidupan seseorang, keberadaanya dan nasib hidupnya telah diberikan dan ditunjukkan (pre-destined ) dengan kekuatan milik Tuhan.
4. Semau manusia diharuskan untuk berterimakasih dan memuja Tuhan karena telah diberikan sebuah kesempatan untuk hidup didunia. Janganlah sesekali mengeluh kepada-Nya ketika kamu sedang dalam penderitaan, gantilah keadaan itu selalu untuk dekat kepada-Nya.
Legenda di tanah Jawa banyak memberikan contoh:
1. Aturan Raja yang adil dan tidak adil.
2. Kelicikan dan penghormatan
3. Pahlawan dan pengkhianat
4. Bangsa yang damai dan sejahtera serta yang penuh kekacauan.
5. Rakyat sebagai kekuatan poitik dan kecanduan kekuatan politik.
6. Masayarkat yang ADIL (Just; Fair; Peace), MAKMUR (Prosperous), Tata Tentrem Kerta Raharja dimana aturan, kedamaian, keamanan, dan kebahagiaan selalu dijunjung tinggi sebagai ideologi sosial masyarakat Jawa.
Dari orang tua dan keluarga, guru dan masyarakat, orang Jawa saling belajar dari antara mereka seperti:
1. TATA KRAMA atau ETIKA ( To be Polite or Etiquette).
TATA KRAMA (To be polite or etiquette) adalah menyangkut masalah tingkah laku jasmani seperti bagaimana cara duduk, cara makan, cara berbicara, dll. Dengan orang yang lebig tua dan orang yang lebih tinggi posisinya mereka menggunakan bahasa Jawa yang disebut KRAMA INGGIL (refined language). Dengan temannya mereka seringkali menggunakan bahasa Jawa NGOKO (low level). Hampir semua kata-kata yang digunakan dalam kedua jenis tingkatan bahasa, baik KRAMA INGGIL & NGOKO sangatlah berbeda. Bahasa jawa sangatlah istimewa dan unik, dan sangat tepat untuk membuktikan adanya etika atau TATA KRAMA (etiquette)
2. MENGHORMATI (To be Respect).
Harus selalu menghormati orang tua, orang yang lebih tua, guru, leluhur, dll, tidak selalu untuk menutup kemungkinan menghormati orang yang lebih muda, mereka juga diperlakukan dengan penuh penghormatan juga, seta bagi orang-orang yang lebih tinggi atau lebih rendah posisinya.
Hal ini sering disebut juga TATA SUSILA (ethics) yang didalamnya orang Jawa haruslah:
• KEJUJURAN; tidak curang, siap untuk membantu orang lain. Selalu siap untuk menjauhi Ma-Lima (Five bad conducts in Javanese language starting with ma-lima); MAIN – gambling; MADON – commit adultery; MABUK – excessive alcoholic drinking; MANGAN – include using opium, smoking, drugs, narcotics, etc; MALING – stealing. Kesemuanya itu yang secara kebutuhan ragawi bisa merusak dan merugikan, oleh karen itu harus selalu dihindarkan.
• Selalu melakukan kelakuan yang baik dan benar untuk menghindari kesalahan dan melindungi reputasi yang baik dan benar, oleh karena itu orang Jawa selalu merasa “ISIN atau Malu” (to feel ashamed). Rasa “ISIN” mengacu kepada tingkah laku yang salah, yang bagi orang Jawa lebih ditegaskan lagi sebagai kehilangan kehormatan dirinya.
• RUKUN; (To maintain harmony), diartikan sebagai bebas dari konflik dalam keluarga, tetangga, penduduk desa, bangsa dan dunia. Keharmonisan kehidupan diantara mereka adalah sangatlah penting. Faktanya apabila terdapat kerusakan dalam diri manusia itu berarti mereka mengacu kepada orang yang tidak bertanggung jawab. Hanya sebagian kecil kerusakan diri manusia disebabkan oleh gangguan binatang atau roh. Semboyan yang sangat terkenal dikalangan orang Jawa adalah RUKUN AGAWE SANTOSA (Peaceful and harmony makes us strong).
• SABAR (To be patient) , mampu mengendalikan dirinya.
• NRIMA (To be acceptful) mampu menerima nasib hidupnya didunia ini dan tidak mencemburui segala sesuatu yang dimiliki orang lain (kesuksesan, keberhasilan, kekayaan, dll.)
• Sifat AKU ( Don’t be selfish, to act only for his own interest.) melakukan segala sesuatu untuk ditrinya sendiri.
SEPI ING PAMRIH RAME ING GAWE, dalam artian yang lebih luas sebagai hakekat hidup yang lepas dari sifat ke-AKUan (free of self interest) dan siap sedia untuk bekerja keras untuk komunitas sosial dan kesejahteraan seluruh isi dunia, tidak mengharapkan sesuatu apapun; pamrih imbalan jasa. (RAME >< SEPI = tidak mengharapkan sesuatu sebagai balas jasa; expecting nothing for the good deed, GAWE = siap bekerja dengan keras. ready to work hard seriously or to organize, etc.)
b. SLAMETAN; Ritual Ceremonial
Hal ini sangatlah penting dari setiap tradisi ritual. Doa-doa dilakukan oleh tetangga atau saudara dekat dan beberapa kerabat dekat lainnya dalam bentuk upacara sesaji, yang biasanya terdapat TUMPENG (offering of rice cone) dan beberapa bentuk hidangan lainnya, beberapa macam buah-buahan, dedaunan, bunga, dll. SLAMETAN berasal dari kata “SLAMET atau Safe” yang sangat difokuskan untuk jujuan keselamatan, ritual penghormatan hari kelahiran, dsb.
b. GOTONG ROYONG; Mutual cooperation; assistance
Adalah bentuk kerjasama yang solid berdasarkan kesadaran dan atas dasar petimbangan yang matang untuk menolong sesama, terutama dilingkungan tetangga atau sesama penduduk desa. Diantaranya adalah acara bersih desa, membangun jalan desa, menjaga keamanan sesama penduduk desa atau tetangga, membantu tetangga yang sedang dalam kesusahan seperti meninggalnya seseorang, kebakaran, dsb.
c. MAMAYU HAYUNING BAWANA; To Preserve The Beauty of The World
Seperti yang disebutkan dengan konsep “MAMAYU HAYUNING BAWANA” yang masih berlaku hingga pada saat ini adalah tonggak yang terkuat didalam ajaran Kejawen . Untuk mempelajari hal ini adalah sangat sulit apabila tidak mengerti dan dipahami terlebih jauh lagi tentang praktek Kejawen tanpa mengimplementasikan prinsip ini. Karena pada dasarnya ini berarti: menjaga kelestarian lingkungan alam jagat raya untuk kesejahteraan umat manusia.
Beberapa orang Jawa yang melestarikan jalan hidup secara tradisional, dalam beberapa kesempatan yang tepat boleh dikatakan kehidupan manusia harus selalu dalam keadaan baik, selamat dan sejahtera apabila setiap orang ingin mempraktekkan prinsip hidup “MAMAYU HAYUNING BAWANA” secara luas. Di Jawa, kalimat ini sangat populer dan selalu terbuka dan diucapkan berkali-kali oleh tokoh masyarkat; tua-tua; guru spiritual yang dikenal dengan PINISEPUH (elderly wise people).
Untuk lebih jelasnya dalam artian yang benar disini dijelaskan bahwa “MAMAYU HAYUNING BAWANA” berarti melestarikan keindahan dunia, bisa diartikan sebagai mengerjakan sesuatu untuk kesejahteraan dunia dengan segala sesuatu yang ada didalamnya. Bisa diambil catatan sbb: HAYUNING BAWANA (HAYU; AYU- beautiful; BAWANA- universe; world; earth). Persepsi orang Jawa mengatakan bahwa dunia itu sangat indah, dunia itu sendiri adalah alam yang indah sumber kehidupan, sangat berarti bagi manusia dan mahluk hidup. Haruslah dihaga dan dirawat, dilestarikan dan dilindungi dengan cara yang terbaik. Oleh siapa??.. tentunya oleh manusia itu sendiri sebagai penduduk dunia secara luas yang menerima sebanyak-banyak karya cita alam jagat raya dunia untuk menyambung hidupnya. Manusia harusnya tidak lupa akan hal ini bahwa dia tidak bisa dilepaskan oleh alam.
Beberapa orang bijak ahli lingkungan sering mengatakan “If you do any harm to the world, to the environment, you do harm to yourself” – apabila kamu merusak dunia, kepada lingkungan itu sama saja kamu merusak dirimu. Manusia adalah faktor utama untuk menjaga dunia ini dalam keadaan yang baik. Dan beberapa aturan-aturan banyak diciptakan untuk melindungi dunia dan segala isinya dari kerusakan. Semau orang/manusia haruslah waspada sebagai bagian kecil dari “BAWANA”’ (world; earth), haruslah mempunyai kesadaran tinggi untuk melestarikan dunia demi kesejahteraan umat manusia.
Di dalam Kejawen selalu ditegaskan bahwa tidak ada yang lainnya kecuali GUSTI (Creator of life, the Creator of the Universe, God the Almighty) yang mampu menciptakan segala bentuk kehidupan didunai ini. Manusia haruslah menghormati-Nya, memuja-Nya. Hal ini merupakan bentuk keharmonisan secara vertikal antara manusia dangan Tuhannya, serta manusia juga harus mampu untuk menciptakan keharmonisan hidup terhadap sesama manusia dan lingkungannya, yang sering dimanifestasikan atau diwujudkan sebagai hubungan secara horisontal.
Dia sendiri harus mengetahui kegnaan sumber daya alam dan kekuatan alam. Setiap bagian dari alam mempeunyai tugas dan fungsi masing-masing dan sifatnya juga sendiri-sendiri. Oleh karena itu barangsiapa yang mencari ilmu sejati atau NGELMU SEJATI = KASUNYATAN; The Reality) kadangkala melakukan laku meditasi dibeberapa tempat untuk mendapatkan wahyu; yang sering orang Jawa disebut dengan pepadhang.
Manusia dengan karakter pepadhang atau Satriya (warrior) selalu siap sedia dalam membantu siapapun dan apapun. Seorang Ksatriya;Satriya yang dalam artian lebih luas lagi adalah seseorang dengan pandangan pikiran yang jujur, sehingga dalam tugasnya dia berperan sebagai:
1. Memberikan contoh yang baik dari kelakuannya untuk kepentingan semuanya termasuk bagi negaranya.
2. Menjadi pelindung yang baik bagi yang memerlukan pertolongannya.
3. Membantu bagi yang memerlukannya.
4. Sangat bijaksana untuk memberikan pengampunan bagi orang bersalah kepadanya.
Seorang SATRIYA (warrior) adalah seorang yang percaya kepada Tuhannya, dalam beberapa aspek kehidupan spiritualnya, dia juga mempunyai kemampuan untuk “OLAH RASA” (true feeling) dengan mempraktekkan kekuatan rasa sejatinya. Olah rasa (spiritually) adalah RASA SEJATI, yang hanya bisa dipenuhi dengan jalan meditasi. MEDITASI; Meditation ( adalah laku bermeditasi yang biasanya dilakukan dengan jalan keluar rumah pada malam hari beberapa menit lamanya, berada dibawah langit terbuka adalah sangat berguna untuk menggabungkan getaran alam dengan dirinya. Hal ini adalah sangat penting untuk mendekatkan dirinya kepada kekuatan alam berupa angin (wind), air (water), api (fire) dan tanah (land).
Untuk menolong orang lain adalah sesuatu yang berarti bagi dirinya, akan tetapi sebelum memutuskan untuk menolongnya dia haruslah melakukan latihan kedalaman spiritual sehingga dia kuat/tidak goyah, cara terbaik adalah bila dia sudah benar-benar mengenal akan Tuhannya.
Category:
��
10.58 | Posted in

Santet, teluh, sihir atau apapun namanya adalah energi negatif yang mampu merusak kehidupan seseorang : berupa terkena penyakit, kehancuran rumah tangga hingga sampai dengan kematian.
Berbagai penyelidikan pun telah banyak dilakukan ilmuwan terhadap fenomena santet dan sejenisnya. Tentu metode penelitian para ilmuwan agak berbeda dengan agamawan. Jika para agamawan memakai rujukan dalil2 kitab suci (ayat kitabiyah), maka para ilmuwan menggunakan ayat kauniyah (alam semesta) untuk menyelidiki santet ini.
Penyelidikan menggunakan ayat kauniyah tentunya harus memiliki metode yang s ifa tnya ilmiah, mulai dari mencari kasus2 santet, tipe2 santet, gejala, akibat dlsb. Lalu kemudian dilakukan berbagai eksperimen untuk penyembuhannya. Salah satu kesimpulan/pendapat yang mengemuka adalah santet itu sebenarnya adalah energi. Kenapa dalam kasus santet bisa masuk paku, kalajengking, penggorengan dll bisa dijelaskan melalui proses materialisasi energi.
Nah, santet dan mahluk halus itu ternyata energi yang bermuatan (-). Bumipun ternyata memiliki muatan (-). Dalam hukum C Coulomb dikatakan bahwa muatan yang senama akan saling tolak menolak dan muatan yang tidak senama justru akan tarik menarik. Rumusnya :
F = K * ((Q1*Q2)/R^2)
F = gaya tarik menarik
K = Konstanta
Q1, Q2 = muatan
R = jarak
Nah karena demit alias mahluk halus dan bumi itu sama-sama bermuatan (-) makannya para demit itu tidaklah menyentuh bumi. Orang tua jaman dulu juga sering mengingatkan jika bicara dgn orang yg tidak dikenal pd malam hari maka lihatlah apakah kakinya menapak ke bumi atau tidak. Jika tidak maka ia berarti golongan mahluk halus.
Begitu juga dengan santet yang ternyata bermuatan (-) maka secara fisika bisa ditanggulangi atau ditangkal dengan hukum C Coulomb ini. Saya tidak membahas metode melawan santet dengan zikir karena sudah banyak dibahas tapi saya menawarkan alternatif lainnya yg bisa bersifat “standalone” (utk non muslim) maupun digabungkan dgn zikir (utk muslim).
Beberapa Metodenya :
Cara 1
Tidurlah dilantai yang langsung menyentuh bumi. Boleh gunakan alas tidur asal tidak lebih dari 15 Cm. Dengan tidur dilantai maka santet kesulitan masuk karena terhalang muatan (-) dari bumi.
Cara 2
Membuat alat elektronik yang mampu memancarkan gelombang bermuatan (-). Mahluk halus, jin, santet dll akan menjauh jika terkena getaran alat ini. Tapi Kelemahan alat ini tidak mampu mendeteksi mahluk baik dan jahat. Jadi, alat ini akan “menghajar” mahluk apa saja. Jika ada jin baik dan jin jahat maka keduanya akan “diusir” juga.
Cara 3
Melakukan gerakan senam khusus dimana tapak kaki harus menyentuh bumi. Gerakan senam ini hanya punya satu gerakan inti saja jadi mudah sekali dilakukan oleh anak2 hingga orang tua. Selain utk penyembuhan berbagai penyakit medis yg sulit sembuh, senam ini cukup banyak menyelesaikan kasus santet juga. Ini murni senam, tanpa mantra atau pernafasan khusus.
Cara 4
Menanam pohon atau tanaman yang memiliki muatan (-). Bagi yang peka spiritual, aura tanaman ini adalah terasa “dingin”. Pohon yang memiliki muatan (-) diantaranya : dadap, pacar air, kelor, bambu kuning dll. Tanaman sejenis ini paling tidak disukai mahluk halus. Biasanya tanaman bermuatan (-) ini tidaklah mencengkram terlalu kuat di tanah (bumi) dibandingkan dengan tanaman bermuatan (+)
Lain halnya dengan pohon yang memiliki muatan (+) seperti pohon asem, beringin, belimbing, kemuning, alas randu dll maka phohon sejenis ini tentu akan menarik mahluk halus dan seringkali dijadikan tempat tinggal. Hal ini dikarenakan ada gaya tarik menarik antara pohon (+) dan mahluk halus (-) sesuai hukum C Coulomb.
Category:
��
10.47 | Posted in
Dibawah ini adalah istilah – istilah yang sering kita jumpai dalam karya sastra Jawa.
1.
Babad: sastra sejarah dalam tradisi sastra Jawa; digunakan untuk pengertian yang sama dalam tradisi sastra Madura dan Bali; istilah ini berpadanan dengan carita, sajarah (Sunda), hikayat, silsilah, sejarah (Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia).
2.
Bebasan: ungkapan yang memiliki makna kias dan mengandung perumpamaan pada keadaan yang dikiaskan, misalnya nabok nyilih tangan. gancaran: wacana berbentuk prosa.
3.
Gatra: satuan baris, terutama untuk puisi tradisional.
4.
Gatra purwaka: bagian puisi tradisional [parikan dan wangsalan] yang merupakan isi atau inti.
5.
Guru gatra: aturan jumlah baris tiap bait dalam puisi tradisional Jawa (tembang macapat).
6.
Guru lagu: (disebut juga dhong-dhing) aturan rima akhir pada puisi tradisional Jawa.
7.
Guru wilangan: aturan jumlah suku kata tiap bait dalam puisi tradisional Jawa.
8.
Janturan: kisahan yang disampaikan dalang dalam pergelaran wayang untuk memaparkan tokoh atau situasi adegan.
9.
Japa mantra: mantra, kata yang mempunyai kekuatan gaib berupa pengharapan.
10.
Kagunan basa: penggunaan kata atau unsur bahasa yang menimbulkan makna konotatif: ada berbagai macam kagunan basa, antara lain tembung entar, paribasan,bebasan, saloka, isbat, dan panyandra.
11.
Kakawin: puisi berbahasa Jawa kuno yang merupakan adaptasi kawyra dari India; salah satu unsure pentingnya adalah suku kata panjang dan suku kata pendek (guru dan laghu).
12.
Kidung: puisi berbahasa Jawa tengahan yang memiliki aturan jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata tiap baris, dan pola rima akhir sesuai dengan jenis metrum yang membingkainya; satu pupuh kidung berkemungkinan terdapat lebih dari satu pola metrum.
13.
Macapat: puisi berbahasa Jawa baru yang memperhitungkan jumlah baris untuk tiap bait, jumlah suku kata tiap baris, dan vokal akhir baris; baik jumlah suku kata maupun vokal akhir tergantung atas kedudukan baris bersangkutan pada pola metrum yang digunakan; di samping itu pembacaannya pun menggunakan pola susunan nada yang didasarkan pada nada gamelan;secara tradisional terdapat 15 pola metrum macapat,yakni dhandhang gula, sinom, asmaradana, durma,pangkur, mijil, kinanthi, maskumambang, pucung, jurudemung, wirangrong, balabak, gambuh, megatruh, dan girisa.
14.
Manggala: “kata pengantar” yang terdapat di bagian awal keseluruhan teks; dalam tradisi sastra Jawa kuno biasanya berisi penyebutan dewa yang menjadi pujaan penyair (isthadewata), raja yang berkuasa atau yang memerintahkan penulisan, serta–meskipun tak selalu ada–penanggalan saat penulisan dan nama penyair; istilah manggala kemudian dipergunakan pula dalam penelitian teks-teks sastra Jawa baru.
15.
Pada: bait parikan: puisi tradisional Jawa yang memiliki gatra purwaka (sampiran) dan gatra tebusan (isi); pantun (Melayu).
16.
Parikan lamba: parikan yang hanya mempunyai masing-masing dua baris gatra purwaka dan gatra tebusan.
17.
Parikan rangkep: parikan yang mempunyai masing-masing dua baris gatra purwaka dan gatra tebusan.
18.
Pepali: kata atau suara yang merupakan larangan untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, misalnya aja turu wanci surup.
19.
Pupuh: bagian dari wacana puisi dan dapat disamakan dengan bab dalam wacana berbentuk prosa.
20.
Panambang: sufiks/akhiran.
21.
Panwacara: satuan waktu yang memiliki daur lima hari: Jenar (Pahing), Palguna (Pon), Cemengan (Wage), Kasih (Kliwon), dan Manis (Legi).
22.
Paribasan: ungkapan yang memiliki makna kias namun tidak mengandung perumpamaan, misalnya dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan.
23.
Pegon: aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa.
24.
Pujangga: orang yang ahli dalam menciptakan teks sastra; dalam tradisi sastra Jawa; mereka yang berhak memperoleh gelar pujangga adalah sastrawan yang menguasai paramasastra (ahli dalam sastra dan tata bahasa), parama kawi (mahir dalam menggunakan bahasa kawi), mardi basa (ahli memainkan kata-kata), mardawa lagu (mahir dalam seni suara dan tembang), awicara (pandai berbicara, bercerita, dan mengarang), mandraguna (memiliki pengetahuan mengenai hal yang ‘kasar’ dan ‘halus’), nawung kridha (memiliki pengetahuan lahir batin, arif bijaksana, dan waskitha), juga sambegana (memiliki daya ingatan yang kuat dan tajam).
25.
Saloka: ungkapan yang memiliki makna kiasan dan mengandung perumpamaan pada subyek yang dikiaskan, misalnya kebo nusu gudel.
26.
Saptawara: satuan waktu yang memiliki daur tujuh hari: Radite (Ngahad), Soma (Senen), Buda (Rebo),Respati (Kemis), Sukra (Jumuwah), dan Tumpak (Setu).
27.
Sasmitaning tembang: isyarat mengenai pola metrum atau tembang; dapat muncul pada awal pupuh (isyarat pola metrum yang digunakan pada pupuh bersangkutan) tetapi dapatpula muncul di akhir pupuh (isyarat pola metrum yang digunakan pada pupuh berikutnya.
28.
Sastra gagrak anyar: sastra Jawa modern, ditandai dengan tiadanya aturan-aturan mengenai metrum dan perangkat-perangkat kesastraan tradisional lainnya.
29.
Sastra gagrak lawas: sastra Jawa modern, ditandai dengan aturan-aturan ketat seperti–terutama–pembaitan secara ketat.
30.
Sastra wulang: jenis sastra yang berisi ajaran,terutama moral.
31.
Sengkalan: kronogram atau wacana yang menunjukkan lambang angka tahun, baik dalam wujud kata maupun gambar atau seni rupa lainnya yang memiliki ekuivalen dengan angka secara konvensional.
32.
Singir: syair dalam tradisi sastra Jawa.
33.
Sot: kata atau suara yang mempunyai kekuatan mendatangkan bencana bagi yang memperolehnya.
34.
Suluk: (1) jenis wacana (sastra) pesantren dan pesisiran yang berisi ajaran-ajaran gaib yang bersumber pada ajaran Islam; (2) wacana yang ‘dinyanyikan’ oleh dalang dalam pergelaran wayang untuk menciptakan ‘suasana’ tertentu sesuai dengan situasi adegan.
35.
Supata: kata atau suara yang ‘menetapkan kebenaran’ dengan bersumpah.
36.
Tembung entar: kata kiasan, misalnya kuping wajan.
37.
Wangsit: disebut juga wisik, kata atau suara yang diberikan oleh makhluk gaib, biasanya berupa petunjuk atau nasihat.
38.
Wayang purwa: cerita wayang atau pergelaran wayang yang menggunakan lakon bersumber pada cerita Mahabharata dan Ramayana.
39.
Weca: kata atau suara yang mempunyai kekuatan untuk melihat kejadian di masa mendatang.
40.
Wirid: jenis wacana (sastra) pesantren yang berkaitan dengan tasawuf.
Category:
��