04.32 | Posted in

Supaya kehidupan berjalan baik, para pinisepuh telah mewariskan pitutur luhur – petuah luhur supaya kita semua tetap berpegang kepada paugeraning urip – tata cara kehidupan luhur, yang secara tradisi selalu dilaksanakan dan dihormati seluruh warga dengan sadar dan mantap

Petuah dan ajaran warisan leluhur Jawa/Nusantara sengaja disebar kemana-mana, tidak berupa sebuah buku tuntunan. Ini dimaksudkan oleh para pinisepuh, supaya anak cucu termasuk penulis dan anda semua mengerti, bahwa belajar dan mencari ilmu itu perlu usaha yang tekun.

Tidak jemu-jemunya para pinisepuh menebarkan ajaran luhur lewat sloka-sloka, tembang-tembang, babad, cerita tutur, peribahasa dll, supaya anak keturunan dimanapun dan kapanpun selalu ingat untuk menjaga perilaku yang baik dan patut, selalu percaya diri, berpegang teguh kepada Budi Pekerti, tatakrama dan tata susila, tidak sombong, sopan dan bersikap rendah hati – andap asor.

Piweling/ ajaran yang utama adalah : Tansah eling marang Pangeran – Selalu ingat kepada Tuhan, sebab Gusti ora sare – karena Tuhan tidak tidur, artinya : mengetahui segalanya.

Petuah lewat peribahasa

Dalam pergaulan sehari-hari, beberapa peribahasa dibawah ini, kiranya masih relevan dan bermanfaat dan bila diperhatikan dan dilaksanakan yang baik dan dihindari yang jelek, akan membuat suasana kehidupan dimasyarakat enak, rukun dan menyenangkan.
Category:
��
01.24 | Posted in
Aku keluar lagi dari diriKu
ditarik oleh peristiwa yang berlaku
tertarik oleh keindahan yang membisu
Aku keluar lagi dari diriKu
oleh tanggungjawab
oleh sesuatu tanpa sebab
Aku keluar lagi dari diriKu
melayani rasa rindu
terasa menusuk kalbu
kenapa sukar
untuk sejenak….diam
tanpa rasa, tanpa kata
seketika….
ketika cahaya menjelma
dari Qabqausain ke Fuad
seketika….
tatkala hilang semesta
diselimuti putih
ketika nyawa ku sangka melayang
dikejut oleh tangisan dibelakang.
kenapa sukar
untuk sejenak….diam.
Category:
��
11.24 | Posted in

NENEK moyang bangsa di Nusantara ini mempunyai beberapa pegangan untuk dipergunakan di dalam memimpin masyarakatnya. Kebanyakan sudah terkristalisasi dalam berbagai bentuk tembang dan juga nasihat luhur. Di antara yang paling menonjol adalah pegangan yang dipergunakan oleh Mahapatih Gajahmada ketika memimpin Majapahit.
“Pustaka Hasta Dasa Parateming Prabu” atau 18 ilmu kepemimpinan. Pitutur luhur ini pernah diterapkan Maha Patih Gajah Mada pada zaman keemasan Kerajaan Majapahit di bumi Nusantara ini. Seperti juga digelar di dalam Istana Jawa Org, ke-18 prinsip-prinsip kepemimpinan tersebut permulaannya disebut ‘Wijaya’. Artinya pemimpin harus mempunyai jiwa tenang, sabar dan bijaksana serta tidak lekas panik dalam menghadapi berbagai macam persoalan. Hanya dengan jiwa yang tenang masalah akan dapat dipecahkan.
Yang kedua ‘Mantriwira’; Artinya pemimpin harus berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa terpengaruh tekanan dari pihak manapun.
Ketiga ‘Natangguan’; Artinya pemimpin harus mendapat kepercayaan dari masyarakat dan berusaha menjaga kepercayaan yang diberikan tersebut sebagai tanggung jawab dan kehormatan.
Keempat ‘Satya Bhakti Prabhu’; Pemimpin harus memiliki loyalitas kepada kepentingan yang lebih tinggi dan bertindak dengan penuh kesetiaan demi nusa dan bangsa.
Kelima ‘Wagmiwak’; Pemimpin harus mempunyai kemampuan mengutarakan pendapatnya, pandai berbicara dengan tutur kata yang tertib dan sopan serta mampu menggugah semangat masyarakatnya.
Keenam ‘Wicaksaneng Naya’; Artinya pemimpin harus pandai berdiplomasi dan pandai mengatur strategi dan siasat.
Ketujuh ‘Sarjawa Upasama’; Artinya seorang pemimpin harus rendah hati, tidak boleh sombong, congkak, mentang-mentang jadi pemimpin dan tidak sok berkuasa.
Kedelapan ‘Dhirotsaha’ ; Artinya pemimpin harus rajin dan tekun bekerja, memusatkan rasa, cipta, karsa dan karyanya untuk mengabdi kepada kepentingan umum.
Kesembilan ‘Tan Satrsna’ ; Maksudnya seorang pemimpin tidak boleh pilih kasih terhadap salah satu golongan, tetapi harus mampu mengatasi segala paham golongan, sehingga dengan demikian akan mampu mempersatukan seluruh potensi masyarakatnya untuk menyukseskan cita-cita bersama.
Kesepuluh ‘Masihi Samasta Bhuwana’; Maksudnya seorang pemimpin mencintai alam semesta dengan melestarikan lingkungan hidup sebagai karunia Tuhan dan mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan rakyat.
Kesebelas ‘Sih Samasta Bhuwana’; Maksudnya seorang pemimpin dicintai oleh segenap lapisan masyarakat dan sebaliknya pemimpin mencintai rakyatnya.
Keduabelas ‘Negara Gineng Pratijna’; Maksudnya seorang pemimpin senantiasa mengutamakan kepentingan negara dari pada kepentingan pribadi ataupun golongan, maupun keluarganya.
Ketigabelas ‘Dibyacitta’ ; Maksudnya seorang pemimpin harus lapang dada dan bersedia menerima pendapat orang lain atau bawahannya (akomodatif dan aspiratif).
Keempatbelas ‘Sumantri’ ; Maksudnya seorang pemimpin harus tegas, jujur, bersih dan berwibawa.
Kelimabelas ‘Nayaken Musuh’ ; Maksudnya dapat menguasai musuh-musuh, baik yang datang dari dalam maupun dari luar, termasuk juga yang ada di dalam dirinya sendiri.
Keenambelas ‘Ambek Parama Artha’; Maksudnya pemimpin harus pandai menentukan prioritas atau mengutamakan hal-hal yang lebih penting bagi kesejahteraan dan kepentingan umum.
Ketujubelas ‘Waspada Purwa Artha’; pemimpin selalu waspada dan mau melakukan mawas diri (introspeksi) untuk melakukan perbaikan.
Kedelapan belas ‘Prasaja’ :Artinya seorang pemimpin supaya berpola hidup sederhana (Aparigraha), tidak berfoya-foya atau serba gemerlap.
Pustaka Hasta Dasa Parateming Prabu: sebagai pegangan atau merupakan ajaran Maha Patih Gajah Mada
By Adji Bayu Samudra
Category:
��
10.23 | Posted in


>termangu sang bima di tepian samudera
>dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis
>tak ada lagi tempat bertanya
>sesirnanya sang naga nemburnawa
>
>dewaruci, sang marbudyengrat, memandangnya iba dari kejauhan,
>tahu belaka bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada
>dan mustahil akan pernah bisa ditemukan
>oleh manusia mana pun.
>
>menghampir sang dewa ruci sambil menyapa:
>'apa yang kau cari, hai werkudara,
>hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini
>di tempat sesunyi dan sekosong ini'
>
>terkejut sang sena dan mencari ke kanan kiri
>setelah melihat sang penanya ia bergumam:
>'makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi
>kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?
>
>serba sunyi di sini, lanjut sang marbudyengrat
>mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini
>sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya
>
>sang sena semakin termangu menduga-duga,
>dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa
>ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku.
>entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini.
>dan siapa sebenarnya diriku ini
>
>ketahuilah anakku, akulah yang disebut dewaruci, atau sang marbudyengrat
>yang tahu segalanya tentang dirimu
>anakku yang keturunan hyang guru dari hyang brahma,
>anak kunti, keturunan wisnu yang hanya beranak tiga, yudistira, dirimu,
dan
>janaka.
>yang bersaudara dua lagi nakula dan sadewa dari ibunda madrim si putri
>mandraka.
>datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang durna
>untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini
>
>bila demikian, pukulun, wejanglah aku seperlunya
>agar tidak mengalami kegelapan seperti ini
>terasa bagai keris tanpa sarungnya
>
>sabarlah anakku,.memang berat cobaan hidup
>ingatlah pesanku ini senantiasa
>jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu,
>jangan menyuap sebelum mencicipnya.
>tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru,
>sesuatu terwujud hanya dari tindakan.
>
>janganlah bagai orang gunung membeli emas,
>mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas
>bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan
>
>duh pukulun, tahulah sudah di mana salah hamba
>bertindak tanpa tahu asal tujuan
>sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka.
>
>nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku.
>lanjut sang marbudyengrat
>
>sang sena tertegun tak percaya mendengarnya
>ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya
>paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit
>
>kelingking pun tak akan mungkin muat.
>
>wahai werkudara si dungu anakku,
>sebesar apa dirimu dibanding alam semesta?
>seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku,
>jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam.
>
>mendengar ucapan sang dewaruci sang bima merasa kecil seketika,
>dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang dewaruci
>yang telah terangsur ke arahnya
>
>heh, werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya
>segala yang kau saksikan di sana
>
>hanya tampak samudera luas tak bertepi, ucap sang sena
>alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung
>tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang
>
>janganlah mudah cemas, ujar sang dewaruci
>yakinilah bahwa di setiap kebimbangan
>senantiasa akan ada pertolongan dewata
>
>dalam seketika sang bima menemukan kiblat dan melihat surya
>setelah hati kembali tenang tampaklah sang dewaruci di jagad walikan.
>
>heh, sena! ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan!
>
>awalnya terlihat cahaya terang memancar, kata sang sena
>kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih.
>apakah gerangan semua itu?
>
>ketahuilah werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya,
>penerang hati, yang disebut mukasipat (mukasyafah),
>penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih.
>cahaya empat warna, itulah warna hati
>hitam merah kuning adalah penghalang cipta yang kekal,
>hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu
>memiliki.
>hanya si putih-lah yang bisa membawamu
>ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam,
>
>namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain
>hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi.
>hanya bisa menang dengan bantuan sang suksma.
>adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan
>di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.
>
>duhai pukulun, sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu
>setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna,
>ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala
>berkobar.
>
>itulah kesejatian yang tunggal, anakku terkasih
>semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan.
>sering disebut jagad agung jagad cilik
>
>dari sanalah asal kiblat dan empat warna hitam merah kuning putih
>seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu,
>tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin,
>akan tampak bagai lebah muda kuning gading
>amatilah lebih cermat, wahai werkudara anakku
>
>semakin cerah rasa hati hamba.
>kini tampak putaran berwarna gading, bercahaya memancar.
>warna sejatikah yang hamba saksikan itu?
>
>bukan, anakku yang dungu, bukan,
>berusahalah segera mampu membedakannya
>zat sejati yang kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat,
>tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini.
>
>sedang putaran berwarna gading itu adalah pramana
>yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di
pepohonan
>ia tidak ikut merasakan lapar kenyang haus lelah ngantuk dan sebagainya.
>dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati,
>ialah yang merawat raga
>tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian.
>
>pukulun, jelaslah sudah tentang pramana dalam kehidupan hamba
>lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu?
>
>itu tidaklah mudah dijelaskan, ujar sang dewa ruci, gampang-gampang susah
>sebelum hal itu dijelaskan, kejar sang bima, hamba tak ingin keluar dari
>tempat ini
>serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya.
>
>itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai werkudara
>mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya sendiri
>setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan
>dari segala goda,
>di saat itulah sang suksma akan menghampirimu,
>dan batinmu akan berada di dalam sang suksma sejati
>
>janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api,
>bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu
>perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka
>jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini
>jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur
>pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini
>pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara,
>yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati
>hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu
>tak perlu lagi segala aji kawijayan, semuanya sudah termuat di sini.
>
>maka habislah wejangan sang dewaruci,
>sang guru merangkul sang bima dan membisikkan segala rahasia rasa
>terang bercahaya seketika wajah sang sena menerima wahyu kebahagiaan
>bagaikan kuntum bunga yang telah mekar.
>menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta
>
>dan blassss . . . !
>sudah keluarlah sang bima dari raga dewaruci sang marbudyengrat
>kembali ke alam nyata di tepian samodera luas sunyi tanpa sang dewaruci
>
>sang bima melompat ke daratan dan melangkah kembali
>siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan
>
>tancep kayon
>
>salam,

>WEJANGAN DEWA RUCI
>------------------
>termangu sang bima di tepian samudera
>dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis
>tak ada lagi tempat bertanya
>sesirnanya sang naga nemburnawa
>
>dewaruci, sang marbudyengrat, memandangnya iba dari kejauhan,
>tahu belaka bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada
>dan mustahil akan pernah bisa ditemukan
>oleh manusia mana pun.
>
>menghampir sang dewa ruci sambil menyapa:
>'apa yang kau cari, hai werkudara,
>hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini
>di tempat sesunyi dan sekosong ini'
>
>terkejut sang sena dan mencari ke kanan kiri
>setelah melihat sang penanya ia bergumam:
>'makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi
>kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?
>
>serba sunyi di sini, lanjut sang marbudyengrat
>mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini
>sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya
>
>sang sena semakin termangu menduga-duga,
>dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa
>ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku.
>entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini.
>dan siapa sebenarnya diriku ini
>
>ketahuilah anakku, akulah yang disebut dewaruci, atau sang marbudyengrat
>yang tahu segalanya tentang dirimu
>anakku yang keturunan hyang guru dari hyang brahma,
>anak kunti, keturunan wisnu yang hanya beranak tiga, yudistira, dirimu,
dan
>janaka.
>yang bersaudara dua lagi nakula dan sadewa dari ibunda madrim si putri
>mandraka.
>datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang durna
>untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini
>
>bila demikian, pukulun, wejanglah aku seperlunya
>agar tidak mengalami kegelapan seperti ini
>terasa bagai keris tanpa sarungnya
>
>sabarlah anakku,.memang berat cobaan hidup
>ingatlah pesanku ini senantiasa
>jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu,
>jangan menyuap sebelum mencicipnya.
>tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru,
>sesuatu terwujud hanya dari tindakan.
>
>janganlah bagai orang gunung membeli emas,
>mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas
>bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan
>
>duh pukulun, tahulah sudah di mana salah hamba
>bertindak tanpa tahu asal tujuan
>sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka.
>
>nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku.
>lanjut sang marbudyengrat
>
>sang sena tertegun tak percaya mendengarnya
>ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya
>paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit
>
>kelingking pun tak akan mungkin muat.
>
>wahai werkudara si dungu anakku,
>sebesar apa dirimu dibanding alam semesta?
>seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku,
>jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam.
>
>mendengar ucapan sang dewaruci sang bima merasa kecil seketika,
>dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang dewaruci
>yang telah terangsur ke arahnya
>
>heh, werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya
>segala yang kau saksikan di sana
>
>hanya tampak samudera luas tak bertepi, ucap sang sena
>alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung
>tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang
>
>janganlah mudah cemas, ujar sang dewaruci
>yakinilah bahwa di setiap kebimbangan
>senantiasa akan ada pertolongan dewata
>
>dalam seketika sang bima menemukan kiblat dan melihat surya
>setelah hati kembali tenang tampaklah sang dewaruci di jagad walikan.
>
>heh, sena! ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan!
>
>awalnya terlihat cahaya terang memancar, kata sang sena
>kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih.
>apakah gerangan semua itu?
>
>ketahuilah werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya,
>penerang hati, yang disebut mukasipat (mukasyafah),
>penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih.
>cahaya empat warna, itulah warna hati
>hitam merah kuning adalah penghalang cipta yang kekal,
>hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu
>memiliki.
>hanya si putih-lah yang bisa membawamu
>ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam,
>
>namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain
>hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi.
>hanya bisa menang dengan bantuan sang suksma.
>adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan
>di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.
>
>duhai pukulun, sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu
>setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna,
>ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala
>berkobar.
>
>itulah kesejatian yang tunggal, anakku terkasih
>semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan.
>sering disebut jagad agung jagad cilik
>
>dari sanalah asal kiblat dan empat warna hitam merah kuning putih
>seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu,
>tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin,
>akan tampak bagai lebah muda kuning gading
>amatilah lebih cermat, wahai werkudara anakku
>
>semakin cerah rasa hati hamba.
>kini tampak putaran berwarna gading, bercahaya memancar.
>warna sejatikah yang hamba saksikan itu?
>
>bukan, anakku yang dungu, bukan,
>berusahalah segera mampu membedakannya
>zat sejati yang kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat,
>tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini.
>
>sedang putaran berwarna gading itu adalah pramana
>yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di
pepohonan
>ia tidak ikut merasakan lapar kenyang haus lelah ngantuk dan sebagainya.
>dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati,
>ialah yang merawat raga
>tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian.
>
>pukulun, jelaslah sudah tentang pramana dalam kehidupan hamba
>lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu?
>
>itu tidaklah mudah dijelaskan, ujar sang dewa ruci, gampang-gampang susah
>sebelum hal itu dijelaskan, kejar sang bima, hamba tak ingin keluar dari
>tempat ini
>serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya.
>
>itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai werkudara
>mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya sendiri
>setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan
>dari segala goda,
>di saat itulah sang suksma akan menghampirimu,
>dan batinmu akan berada di dalam sang suksma sejati
>
>janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api,
>bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu
>perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka
>jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini
>jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur
>pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini
>pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara,
>yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati
>hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu
>tak perlu lagi segala aji kawijayan, semuanya sudah termuat di sini.
>
>maka habislah wejangan sang dewaruci,
>sang guru merangkul sang bima dan membisikkan segala rahasia rasa
>terang bercahaya seketika wajah sang sena menerima wahyu kebahagiaan
>bagaikan kuntum bunga yang telah mekar.
>menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta
>
>dan blassss . . . !
>sudah keluarlah sang bima dari raga dewaruci sang marbudyengrat
>kembali ke alam nyata di tepian samodera luas sunyi tanpa sang dewaruci
>
>sang bima melompat ke daratan dan melangkah kembali
>siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan
>
>tancep kayon
>
>salam,Wong Ling Lung
Category:
��
09.58 | Posted in


Hidup di dunia ini hanya sementara. Ungkapan ini terlalu sering kita baca dan kita dengar pada berbagai kesempatan. Biasanya kita pun tanpa berpikir secara jauh segera mengiyakan dan menyetujuinya. Meskipun hanya di dalam hati. Kita jarang bertanya, benarkah hidup ini hanya sementara?
Kata sementara berarti sesaat saja. Sekejap mata, sak kedipan netro. Begitu orang Jawa biasa menyebutkan sifat hidup yang tidak abadi ini. Konon, hidup di dunia laksana seorang musafir yang berjalan jauh menuju sebuah tujuan tertentu. Dia harus memiliki bekal agar tidak kelaparan dan kehausan. Bekal pun ditata, direncanakan sebaik-baiknya. Bekal itu biasanya kemudian dimiskinkan maknanya. Yaitu bekal materi saja.
Yang terjadi kemudian, agar kita sukses dalam mengarungi bahtera hidup maka kita perlu menumpuk materi sebanyak-banyaknya. Agar kita tidak mengalami kesengsaraan, kemiskinan, kenistaan. Sejak usia kanak-kanak hingga dewasa, kita terus-menerus dijejali dengan pemahaman semacam ini. Beruntung, kita bertemu dengan banyak orang, tetangga, teman yang memiliki pemahaman yang sama.
Hanya sesekali kita menyadari bahwa bekal hidup yang sejati sebenarnya tidak hanya harta benda. Yaitu ketika kita masuk ke tempat ibadah, di gereja, di masjid, di pura, di kelenteng. Atau saat kita menonton acara mimbar agama di televisi.
Para ulama, pendeta, biksu, dan pemuka agama saat di mimbar akan menyerukan seruan agar kita mempersiapkan bekal hidup yang tidak hanya harta benda kekayaan, pangkat dan jabatan, karier dan pendidikan saja. Tetapi harus dilengkapi dengan ibadah-ibadah yang sudah dituntunkan oleh agama. Kita tidak diperkenankan keluar jalur agama karena nanti bisa tersesat ke jalan yang tidak berpeta. Bukankah bila kita memasuki daerah tanpa peta (kini GPS), kita akan mengalami kebingungan dan akhirnya tersesat?
Selain saat khusus itu, kita terlalu banyak meluangkan waktu untuk menikmati hidup dengan berbagai sarana kebahagiaan yang menunjang kita untuk berperilaku serba cepat, instan dan mencari kemudahan-kemudahan. Hingga pada suatu ketika, kita disadarkan adanya kepastian yang paling tidak membahagiakan.
Satu persatu, orang-orang yang kita cintai pergi meninggalkan kita. Mulai dari buyut, kakek, nenek, ayah dan ibu. Kita juga mendapati ada satu dua tetangga yang meninggal. Bahkan akhirnya, kita melihat ada bencana alam dengan korban nyawa mencapai ribuan. Ya, kita akhirnya sepakat 100 persen bahwa kematian merupakan kepastian. Tak seorang pun dapat menghindar dan melepaskan diri dari cengkeramannya.
“Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata.”
Kita pun akhirnya menyimpulkan bahwa hidup ini hanya sementara saja sehingga harus diisi dengan banyak melakukan ibadah kepada Tuhan. Benarkah hidup ini hanya sementara? Untuk menjawab ini marilah kita jalani penalaran sederhana dulu.
Manusia ini terdiri dari sesuatu yang lahir atau terlihat yaitu berupa (1) badan biologis/jasad/fisik namun juga sesuatu yang sifatnya tidak terlihat atau batiniah yaitu berupa (1) rasa, hati nurani, nafs, jiwa dan juga (2) ruh. Nah dari tiga hal yang dimiliki oleh substansi manusia ini, manakah yang hidupnya bersifat sementara dan mana yang tidak?
Ukuran hidup dan matinya badan biologis/jasad/ teramat jelas. Yaitu apabila nadi sudah tidak bergerak, gelombang otak sudah tidak terdeteksi dengan EEG, dan bila disapa sudah tidak mampu menjawab. Sehingga kita bisa langsung menyimpulkan bahwa tubuh si D harus secepatnya dimakamkan karena secara medis oleh dokter sudah dinyatakan meninggal. KESIMPULANNYA: BADAN BIOLOGIS HIDUPNYA HANYA SEMENTARA.
Yang kedua ini agak lebih sulit lagi. Apa ukuran hidup dan matinya jiwa, rasa, hati nurani? Kita akan mendapatkan jawaban yang kurang masuk akal bila matinya hati nurani ditandai dengan melemahnya fisik, tubuhnya yang kurus, rumahnya yang reyot. Kaum koruptor, politikus busuk, para maling kelas atas atau teroris umumnya berbadan sehat, tidak ada cacat akal, penalarannya logis.
Namun mereka dikatakan mengalami kematian rasa dan jiwa. Lantas apa ukurannya? Hingga sekarang, tidak ada satupun alat hasil temuan ilmu pengetahuan yang mampu benar-benar mendeteksi secara pasti kematian rasa, batin, jiwa ini. Ilmu psikologi biasanya hanya untuk mengukur kesehatan jiwa saja. Bukan hidup dan matinya jiwa. Bila kita sepakat (sebagaimana yang dipaparkan oleh para psikolog bahwa eksistensi jiwa melekat dalam tubuh) maka kita bisa menyimpulkan bahwa: JIWA HIDUPNYA HANYA SEMENTARA.
Yang ketiga inilah yang paling sulit. Yaitu soal ruh. Kita percaya bahwa ruh itu ada. Ada di mana? Apakah ruh itu melekat di tubuh sebagaimana jiwa/rasa/batin kita? Ataukah adanya di dalam tubuh kita dan sesekali pada kesempatan tertentu ruh bisa terbang ke mana-mana sesuai dengan yang dikehendaki? Pelu dipahami bahwa tidaklah tepat kita memetakan ruh ini dalam konteks bereksistensi di dalam ruang dan waktu. Kitab suci juga memberikan arahan bahwa “Ruh adalah urusan tuhan dan kita hanya diberitahu sedikit.
” Nah, kata “sedikit” ini pasti tidak berarti “dilarang”. Sehingga kita pun tetap diperbolehkan untuk membicarakan dan membeberkannya di khalayak publik. Tentu saja publik yang memiliki kepekaan untuk meraba kebenaran. Bukan publik yang emosional, dogmatis dan menganggap bahwa keyakinan adalah sesuatu yang sudah baku dan tidak boleh dikritisi. Publik yang seperti ini malah jauh dari kebenaran yang merupakan jalan Tuhan memberikan petunjuk kepada manusia.
Siapa menyuruh kita menjadi dogmatis? Tuhan saja bilang pada kita: La ikraha fiddin… Tiada paksaan dalam agama. Memaksakan keyakinan agama dengan paksaan berarti tidak toleran kepada kepercayaan yang lain. Ini justeru sangat dikutuk Tuhan.
Kembali ke ruh. Untuk mendapatkan pengetahuan tentang ruh ini, kita mendapatkannya melalui cara yang berbeda yang biasa ditempuh apabila kita ingin menggali sebuah fenomena alam. Kenapa? Sebab ruh ini adalah substansi yang berdiri sendiri dan ada di dalam dirinya sendiri. Substansi adalah hakikat sesuatu dan hakikat jelas dilekati oleh berbagai aksidensi khusus. Musalnya berada di dalam ruang dan waktu, jenis, sifat, jumlah, kualitas dan sebagainya.
Sementara ruh-nya sendiri adalah sesuatu yang abstrak yang bisa ditangkap dengan kesadaran yang paling jelas dan nyata. Bila memahami fenomena alam kita menggunakan akal dan penalaran menggunakan metode ilmiah, maka mengenal eksistensi ruh ini kita menggunakan akal khusus yaitu akal budi.
Apa itu akal budi? Akal budi adalah daya pencipta pengertian-pengertian murni yang tidak diberikan oleh pengalaman. Akal budi tidak memiliki nilai konstitutif bagi daya pengenalan manusia. Artinya tidak ikut menyusun pengenalan manusia, dan tidak memberi gagasan tentang kenyataan-kenyataan yang ada dan tidak berada sebagai benda. Akal budi oleh karena itu merupakan sumber hidup manusia yang sesungguhnya. Sebab manusia pada dasarnya sudah diinstal secara lengkap untuk mengenali jati dirinya yang paling sejati.
Setidaknya, manusia sudah diinstal tiga software pokok. Software pertama pengetahuan tentang ruh, software kedua pengetahuan tentang dunia hakikat dan software ketiga pengetahuan tentang Tuhan. Ketiga software ini tidak perlu pembuktian teoritis karena sudah merupakan postulat dasar yang apabila dibuktikan justeru akan mengalami sesat pikir. Bila tidak perlu dibuktikan keberadaannya, maka idealnya manusia perlu mengalami ruh itu sebagai entitas yang tersendiri dan obyektif. Sehingga manusia tetap yakin bahwa ruh benar-benar ada dan tidak hanya sebatas wacana. Toh, tidak haram untuk merasakan adanya ruh.
Pengalaman manusia yang paling memungkinkan untuk menggali kekayaan ruh adalah MENGALAMI PERJALANAN HIDUP DI DALAM RUANG DAN WAKTU, dan kemudian mengalami kejadian-kejadian khusus sehingga dia yakin. Pernahkah Anda mendengar ada orang mati kemudian hidup kembali? Atau orang-orang yang koma? Apa yang diceriterakan oleh mereka yang sudah mengalami NEAR DEATH EXPERIENCE ini akan memberikan banyak pengetahuan tentang ruh.
Ada seorang teman saya, inisial NZ menceritakan saat-saat genting ketika dia mengalami kecelakaan parah saat sepeda motor yang ditumpanginya disenggol truk tronton. NZ terjatuh, kepalanya terbentur ban tronton yang berputar cepat. Kepala NZ nyaris terlindas dan akhirnya sepeda motornya yang menjadi korban. Hancur tidak berbentuk. Dia koma beberapa minggu sebelum akhirnya sadar sekitar satu bulan setelah kecelakaan yang nyaris merenggut nyawanya.
“Saat saya jatuh dari motor, saya sadar. Bahkan ketika roda tronton itu mengenai kepala saya. Saya tidak merasakan sakit. Setelah itu, saya tahu saat itu saya pingsan dan dibawa ke rumah sakit dan disana saya menunggu tubuh saya yang tidak bergerak lagi. Saya tahu para sohib yang datang menjenguk. Ada yang nangis. Saya tahu mereka tapi saya tidak tahu harus berbuat apa… Saya cuma menunggu saja…”
Kisah ini lain dialami tetangga desa yang memiliki pengalaman luar biasa. Sebut saja Pak S. Dia sudah dinyatakan meninggal dunia karena berusia lanjut. Orang desa pun memakamkannya. Beberapa hari kemudian, kuburannya terbuka dan dia bangun dari kematiannya. Gemparlah desa tersebut. Si mayat yang hidup kembali itu konon sudah dialaminya yang keempat kali. Yaitu mengalami kejadian yang sama: hidup lagi setelah dianggap meninggal dunia. Nah, dia akhirnya benar-benar mengalami kematian dan tidak hidup lagi setelah kematiannya yang kelima.
Saya tidak sempat mewawancarainya dan yang sempat mewawancarainya adalah teman karib saya. Pak S menceriterakan dia saat dinyatakan meninggal dan dikubur tersebut, dia mengetahui kejadian itu namun tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuh fisik dan akalnya sudah tidak berdaya. Tapi dia tahu kejadian-kejadian yang menimpanya.
Banyaknya kejadian orang yang mengalami NEAR DEATH EXPERIENCE atau pengalaman saat mengalami kematian sementara ini membuktikan satu keyakinan: bahwa ada “sesuatu” yang hidup, buktinya mereka mengetahui proses saat akan mengalami kematian hingga proses lanjutan saat dia pingsan. “Sesuatu” yang menyadari, mengetahui, dan bisa menceriterakan kembali kejadian-kejadian runtut itulah akhirnya bisa disimpulkan bahwa ada satu entitas metafisis dalam diri manusia. Entitas itu kemudian disebut dengan RUH.
Terserah, apa sebutan lain bagi RUH ini. Yang jelas ruh ini tidak akan tersentuh kematian, ruh juga tidak tersentuh rasa sakit fisik. Ruh tidak mengalami saat-saat kejadian dalam ruang dan waktu tertentu. Dengan demikian RUH BERSIFAT ABADI. RUH SELALU DALAM KEADAAN HIDUP SAMPAI KAPANPUN DAN DIMANAPUN. RUH SELALU SADAR DAN TIDAK MENGENAL TIDUR. RUH ADALAH TUHAN DALAM DIRI MANUSIA.
Makanya, tidak salah bila dalam kitab suci dikatakan untuk mengenal Tuhan maka kita tidak perlu jauh-jauh mencari ke negeri Arab, tidak perlu jauh-jauh ke Betlehem, tidak perlu jauh-jauh ke India namun kita hanya diminta mengenal diri sendiri. Mengenali apa yang sesungguhnya paling sejati di dalam diri manusia. “Kenalilah dirimu sendiri, maka kau akan mengenal Tuhanmu.”
Ya, di dalam diri manusia ada “kitab teles”, ada “kitab basah” yaitu “kitab yang benar-benar kitab” yaitu menunjuk langsung pada KENYATAAN, bahwa Dzat Tuhan ada di dalam diri manusia. Tidak ada dualitas karena sesungguhnya RUH MANUSIA DAN DZAT TUHAN TIDAK BERBEDA. KEDUANYA SESUNGGUHNYA SATU KESATUAN.
Terakhir, bila kita sudah beranjak untuk memahami hakikat keberadaan segala sesuatu bahwa hanya ada satu Dzat Tuhan saja, maka kita perlu waspada dengan segala klaim pengetahuan akal yang sudah kita miliki tentang Tuhan. Sebab: “Sejatine kabeh kui ora ono. Sing Ono Kui Dudu…”
ILMU SEJATI MENURUT SYEKH SITI JENAR
“Sajati jatining ngelmu
Lungguhe cipta pribadi
Pustining pangestinira
Gineleng dadya sawiji,
Wijaning ngelmu dyatmika
Neng kahanan ening-ening”
Hakikat ilmu yang sejati
Letaknya pada cipta pribadi
Maksud dan tujuannya,
Disatukan adanya,
Lahirnya ilmu unggul,
Dalam keadaan hening seheningnya
— “Serat Siti Jenar”
Dalam paradigma filsafat ilmu, definisi dari ilmu adalah pengetahuan yang telah diproses sedemikian rupa menggunakan metode, sistematisasi, memiliki obyek forma/sudut tinjau (point of view) dll. Metode ilmu berbeda-beda. Tergantung pada obyek material/materi yang diteliti. Namun, ilmu dalam pemahaman kalangan spiritualis biasanya dipahami lebih kompleks dari itu. Ilmu tidak hanya pengetahuan yang telah diproses dengan metode, sietematisasi, obyek dll… melainkan lebih luas. Meliputi wilayah ilmu sebagai teori dan juga praktik sebagai sarana untuk manembah ke diri pribadi yang merupakan pengejawantahan DIRI-NYA Gusti Inkang Akaryo Jagad.
SYEKH SITI JENAR juga menghayati ilmu seperti pemahaman ini. Terwujudnya ilmu/ngelmu karena ada usaha dan aspek tindakan nyata dari teori. (Ngelmu iku kalakone kanthi laku) Untuk mendapatkan ngelmu, Siti Jenar mensyaratkan adanya perjuangan yang berat, sungguh-sungguh, teliti dan sabar. Bahkan ada syarat khusus yaitu pelaku ngelmu tersebut harus meper hawa nafsunya. Ilmu yang dicari oleh Siti Jenar adalah ilmu sejati, yaitu ilmu yang harus dihayati dan memberikan kemanfaatan hidup di dunia dan diakhirat. Jadi ilmu harus memiliki dimensi pragmatis/kemanfaatan/kegunaan yang besar.
Teori itu penting namun lebih penting lagi adalah mampu mempraktikkan ilmu tersebut untuk kemanfaatan sesame makhluk Tuhan. Ibarat insinyur, teori membangun gedung itu penting. Namun yang lebih penting adalah bagaimana insinyur tersebut mampu mengaplikasikan teori tersebut untuk membangun gedung. Syekh Siti Jenar membimbing orang untuk mampu mengetahui ilmu dari Gusti Yang Maha Tunggal dengan mengetahui kenyataan ini adalah sebuah perwujudan kodrat-Nya. Siapa yang mampu memiliki ilmu ini? Tidak lain pribadi yang tahu, paham dan mempraktekkan kodrat, iradat dan ilmunya.
Ilmu yang sebenarnya/ilmu sejati menurut Siti Jenar berada di dalam cipta pribadi. Ide dan kreasi yang lahir dari dalam diri sendiri. Yang adanya di dalam diri yang paling dalam. Biasanya, kita mengetahui sesuatu itu berasal dari luar, melalui indera/pengalaman indera dan melalui pengajaran-pengajaran dari orang lain/guru/dosen. Namun, kata Siti Jenar, ilmu sejati yang memberi pengajaran adalah DIRI SEJATI. Diri Sejati itu berada di dalam lapisan diri yang paling dalam. Maka, pengetahuan tentang ilmu sejati, menurut Siti Jenar, hanya bisa ditemukan melalui ketajaman batin yang sumbernya dari hening dan sepinya diri. Sebab ilmu sejati memang adanya di kedalaman kesadaran manusia yang paling dalam.
Untuk mendapatkan ilmu sejati, manusia harus sepi ing pamrih rame ing gawe. Bebas dari nafsu dan ego pribadi apapun juga. Batin benar-benar menyatu dalam irama keheningan samadi. Hati dan pikiran tertuju pada fokus: Hu Allah! Itu saja, sehingga tidak ada konflik batin karena semuanya hakikatnya SATU. Susah-senang, baik-buruk, benar-salah, hitam-putih semuanya sumbernya satu dan tidak saling mengalahkan. Semuanya bisa diresapi dalam diamnya pribadi kita untuk selalu menyatu dengan pribadi-Nya. Sedulur papat limo pancer: Empat saudara yaitu ketuban, ari-ari, tali pusat dan darah yang menyertai kelahiran bayi ke alam dunia. Keempat saudara itu secara simbolik akan mati dan bersifat sementara, tinggal Pancernya—Ruh—Pribadi yang hidup. Pancer yang berupa ruh itulah DIRI PRIBADI MANUSIA.
Manusia sejati, menurut Siti Jenar, harus mengetahui GURU SEJATI-nya. Guru Sejati itu semacam intuisi/indera keenam hasil olahan dari RASA yang sangat dalam. Guru sejati adalah RUH yang memperkuat Sukma Sejati/sang pribadi dalam hidup ini. Sementara Sukma Sejati adalah tempat atau wadah bagi dunungnya SANG PRIBADI. Ilmu-ilmu tentang yang demikian itulah oleh Siti Jenar dikatakan sebagai ILMU SEJATI. ***
by Adjisaka
Category:
��