10.23 | Posted in


>termangu sang bima di tepian samudera
>dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis
>tak ada lagi tempat bertanya
>sesirnanya sang naga nemburnawa
>
>dewaruci, sang marbudyengrat, memandangnya iba dari kejauhan,
>tahu belaka bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada
>dan mustahil akan pernah bisa ditemukan
>oleh manusia mana pun.
>
>menghampir sang dewa ruci sambil menyapa:
>'apa yang kau cari, hai werkudara,
>hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini
>di tempat sesunyi dan sekosong ini'
>
>terkejut sang sena dan mencari ke kanan kiri
>setelah melihat sang penanya ia bergumam:
>'makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi
>kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?
>
>serba sunyi di sini, lanjut sang marbudyengrat
>mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini
>sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya
>
>sang sena semakin termangu menduga-duga,
>dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa
>ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku.
>entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini.
>dan siapa sebenarnya diriku ini
>
>ketahuilah anakku, akulah yang disebut dewaruci, atau sang marbudyengrat
>yang tahu segalanya tentang dirimu
>anakku yang keturunan hyang guru dari hyang brahma,
>anak kunti, keturunan wisnu yang hanya beranak tiga, yudistira, dirimu,
dan
>janaka.
>yang bersaudara dua lagi nakula dan sadewa dari ibunda madrim si putri
>mandraka.
>datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang durna
>untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini
>
>bila demikian, pukulun, wejanglah aku seperlunya
>agar tidak mengalami kegelapan seperti ini
>terasa bagai keris tanpa sarungnya
>
>sabarlah anakku,.memang berat cobaan hidup
>ingatlah pesanku ini senantiasa
>jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu,
>jangan menyuap sebelum mencicipnya.
>tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru,
>sesuatu terwujud hanya dari tindakan.
>
>janganlah bagai orang gunung membeli emas,
>mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas
>bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan
>
>duh pukulun, tahulah sudah di mana salah hamba
>bertindak tanpa tahu asal tujuan
>sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka.
>
>nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku.
>lanjut sang marbudyengrat
>
>sang sena tertegun tak percaya mendengarnya
>ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya
>paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit
>
>kelingking pun tak akan mungkin muat.
>
>wahai werkudara si dungu anakku,
>sebesar apa dirimu dibanding alam semesta?
>seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku,
>jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam.
>
>mendengar ucapan sang dewaruci sang bima merasa kecil seketika,
>dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang dewaruci
>yang telah terangsur ke arahnya
>
>heh, werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya
>segala yang kau saksikan di sana
>
>hanya tampak samudera luas tak bertepi, ucap sang sena
>alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung
>tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang
>
>janganlah mudah cemas, ujar sang dewaruci
>yakinilah bahwa di setiap kebimbangan
>senantiasa akan ada pertolongan dewata
>
>dalam seketika sang bima menemukan kiblat dan melihat surya
>setelah hati kembali tenang tampaklah sang dewaruci di jagad walikan.
>
>heh, sena! ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan!
>
>awalnya terlihat cahaya terang memancar, kata sang sena
>kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih.
>apakah gerangan semua itu?
>
>ketahuilah werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya,
>penerang hati, yang disebut mukasipat (mukasyafah),
>penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih.
>cahaya empat warna, itulah warna hati
>hitam merah kuning adalah penghalang cipta yang kekal,
>hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu
>memiliki.
>hanya si putih-lah yang bisa membawamu
>ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam,
>
>namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain
>hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi.
>hanya bisa menang dengan bantuan sang suksma.
>adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan
>di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.
>
>duhai pukulun, sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu
>setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna,
>ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala
>berkobar.
>
>itulah kesejatian yang tunggal, anakku terkasih
>semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan.
>sering disebut jagad agung jagad cilik
>
>dari sanalah asal kiblat dan empat warna hitam merah kuning putih
>seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu,
>tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin,
>akan tampak bagai lebah muda kuning gading
>amatilah lebih cermat, wahai werkudara anakku
>
>semakin cerah rasa hati hamba.
>kini tampak putaran berwarna gading, bercahaya memancar.
>warna sejatikah yang hamba saksikan itu?
>
>bukan, anakku yang dungu, bukan,
>berusahalah segera mampu membedakannya
>zat sejati yang kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat,
>tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini.
>
>sedang putaran berwarna gading itu adalah pramana
>yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di
pepohonan
>ia tidak ikut merasakan lapar kenyang haus lelah ngantuk dan sebagainya.
>dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati,
>ialah yang merawat raga
>tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian.
>
>pukulun, jelaslah sudah tentang pramana dalam kehidupan hamba
>lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu?
>
>itu tidaklah mudah dijelaskan, ujar sang dewa ruci, gampang-gampang susah
>sebelum hal itu dijelaskan, kejar sang bima, hamba tak ingin keluar dari
>tempat ini
>serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya.
>
>itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai werkudara
>mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya sendiri
>setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan
>dari segala goda,
>di saat itulah sang suksma akan menghampirimu,
>dan batinmu akan berada di dalam sang suksma sejati
>
>janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api,
>bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu
>perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka
>jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini
>jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur
>pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini
>pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara,
>yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati
>hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu
>tak perlu lagi segala aji kawijayan, semuanya sudah termuat di sini.
>
>maka habislah wejangan sang dewaruci,
>sang guru merangkul sang bima dan membisikkan segala rahasia rasa
>terang bercahaya seketika wajah sang sena menerima wahyu kebahagiaan
>bagaikan kuntum bunga yang telah mekar.
>menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta
>
>dan blassss . . . !
>sudah keluarlah sang bima dari raga dewaruci sang marbudyengrat
>kembali ke alam nyata di tepian samodera luas sunyi tanpa sang dewaruci
>
>sang bima melompat ke daratan dan melangkah kembali
>siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan
>
>tancep kayon
>
>salam,

>WEJANGAN DEWA RUCI
>------------------
>termangu sang bima di tepian samudera
>dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis
>tak ada lagi tempat bertanya
>sesirnanya sang naga nemburnawa
>
>dewaruci, sang marbudyengrat, memandangnya iba dari kejauhan,
>tahu belaka bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada
>dan mustahil akan pernah bisa ditemukan
>oleh manusia mana pun.
>
>menghampir sang dewa ruci sambil menyapa:
>'apa yang kau cari, hai werkudara,
>hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini
>di tempat sesunyi dan sekosong ini'
>
>terkejut sang sena dan mencari ke kanan kiri
>setelah melihat sang penanya ia bergumam:
>'makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi
>kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?
>
>serba sunyi di sini, lanjut sang marbudyengrat
>mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini
>sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya
>
>sang sena semakin termangu menduga-duga,
>dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa
>ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku.
>entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini.
>dan siapa sebenarnya diriku ini
>
>ketahuilah anakku, akulah yang disebut dewaruci, atau sang marbudyengrat
>yang tahu segalanya tentang dirimu
>anakku yang keturunan hyang guru dari hyang brahma,
>anak kunti, keturunan wisnu yang hanya beranak tiga, yudistira, dirimu,
dan
>janaka.
>yang bersaudara dua lagi nakula dan sadewa dari ibunda madrim si putri
>mandraka.
>datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang durna
>untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini
>
>bila demikian, pukulun, wejanglah aku seperlunya
>agar tidak mengalami kegelapan seperti ini
>terasa bagai keris tanpa sarungnya
>
>sabarlah anakku,.memang berat cobaan hidup
>ingatlah pesanku ini senantiasa
>jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu,
>jangan menyuap sebelum mencicipnya.
>tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru,
>sesuatu terwujud hanya dari tindakan.
>
>janganlah bagai orang gunung membeli emas,
>mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas
>bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan
>
>duh pukulun, tahulah sudah di mana salah hamba
>bertindak tanpa tahu asal tujuan
>sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka.
>
>nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku.
>lanjut sang marbudyengrat
>
>sang sena tertegun tak percaya mendengarnya
>ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya
>paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit
>
>kelingking pun tak akan mungkin muat.
>
>wahai werkudara si dungu anakku,
>sebesar apa dirimu dibanding alam semesta?
>seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku,
>jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam.
>
>mendengar ucapan sang dewaruci sang bima merasa kecil seketika,
>dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang dewaruci
>yang telah terangsur ke arahnya
>
>heh, werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya
>segala yang kau saksikan di sana
>
>hanya tampak samudera luas tak bertepi, ucap sang sena
>alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung
>tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang
>
>janganlah mudah cemas, ujar sang dewaruci
>yakinilah bahwa di setiap kebimbangan
>senantiasa akan ada pertolongan dewata
>
>dalam seketika sang bima menemukan kiblat dan melihat surya
>setelah hati kembali tenang tampaklah sang dewaruci di jagad walikan.
>
>heh, sena! ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan!
>
>awalnya terlihat cahaya terang memancar, kata sang sena
>kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih.
>apakah gerangan semua itu?
>
>ketahuilah werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya,
>penerang hati, yang disebut mukasipat (mukasyafah),
>penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih.
>cahaya empat warna, itulah warna hati
>hitam merah kuning adalah penghalang cipta yang kekal,
>hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu
>memiliki.
>hanya si putih-lah yang bisa membawamu
>ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam,
>
>namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain
>hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi.
>hanya bisa menang dengan bantuan sang suksma.
>adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan
>di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.
>
>duhai pukulun, sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu
>setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna,
>ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala
>berkobar.
>
>itulah kesejatian yang tunggal, anakku terkasih
>semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan.
>sering disebut jagad agung jagad cilik
>
>dari sanalah asal kiblat dan empat warna hitam merah kuning putih
>seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu,
>tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin,
>akan tampak bagai lebah muda kuning gading
>amatilah lebih cermat, wahai werkudara anakku
>
>semakin cerah rasa hati hamba.
>kini tampak putaran berwarna gading, bercahaya memancar.
>warna sejatikah yang hamba saksikan itu?
>
>bukan, anakku yang dungu, bukan,
>berusahalah segera mampu membedakannya
>zat sejati yang kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat,
>tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini.
>
>sedang putaran berwarna gading itu adalah pramana
>yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di
pepohonan
>ia tidak ikut merasakan lapar kenyang haus lelah ngantuk dan sebagainya.
>dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati,
>ialah yang merawat raga
>tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian.
>
>pukulun, jelaslah sudah tentang pramana dalam kehidupan hamba
>lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu?
>
>itu tidaklah mudah dijelaskan, ujar sang dewa ruci, gampang-gampang susah
>sebelum hal itu dijelaskan, kejar sang bima, hamba tak ingin keluar dari
>tempat ini
>serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya.
>
>itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai werkudara
>mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya sendiri
>setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan
>dari segala goda,
>di saat itulah sang suksma akan menghampirimu,
>dan batinmu akan berada di dalam sang suksma sejati
>
>janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api,
>bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu
>perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka
>jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini
>jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur
>pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini
>pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara,
>yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati
>hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu
>tak perlu lagi segala aji kawijayan, semuanya sudah termuat di sini.
>
>maka habislah wejangan sang dewaruci,
>sang guru merangkul sang bima dan membisikkan segala rahasia rasa
>terang bercahaya seketika wajah sang sena menerima wahyu kebahagiaan
>bagaikan kuntum bunga yang telah mekar.
>menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta
>
>dan blassss . . . !
>sudah keluarlah sang bima dari raga dewaruci sang marbudyengrat
>kembali ke alam nyata di tepian samodera luas sunyi tanpa sang dewaruci
>
>sang bima melompat ke daratan dan melangkah kembali
>siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan
>
>tancep kayon
>
>salam,Wong Ling Lung
Category:
��

Comments

0 responses to "WEJANGAN DEWA RUCI"